Kamis, 23 Oktober 2014

FNEWS-KOMUNITAS RELAWAN ONLINE TERBENTUK

FNEWS-KOMUNITAS RELAWAN ONLINE TERBENTUK

“Kabinet Tanjung Priok Batal”

MASIH belum ada penjelasan resmi, mengapa pengumuman Kabinet Jokowi yang dijadwalkan  dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, batal mendadak, tertunda atau ditunda. 

Media sudah memberitakan, malah sudah ada 33 helm yang diduga maksudnya untuk dipakai para menteri - menteri yang terpilih.

Begitu penundaan itu tersiar, infonya senyap dan hilang mendadak dan berbagai spekulasi muncul. Seorang bankir teman saya dengan kesal terpaksa kembali ke rumahnya, tidak jadi menonton MetroTV dan menduga pasti ada pengaruhnya dengan pasar.

KPK dan PPATK memang sudah memberi sinyal terhadap calon menteri yang diteliti komisi ini dan disebut-sebut ada delapan orang yang bermasalah. ICW pun bergerak cepat, selain diskusi dan temu pers di sebuah restoran di Senayan, seruan lanjutannya disampaikan melalui email.

Salah satunya seperti yang disampaikan  Ade Irawan, Koordinator ICW. Mereka minta Jokowi jangan berkompromi dan mencoret calon menteri dan anggota kabinet yang bermasalah karena mendapat kartu kuning dan merah dari KPK dan PPTK atau tidak memiliki prestasi. Jangan pilih juga menteri “daur ulang”.

Mempertahankan segelintir figur bermasalah masuk dalam kabinet akan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun kabinet selama 1 periode. Ibarat pepatah “nila setitik rusak susu sebelanga”. Jangan ubah pesta kemenangan rakyat dengan pesta kecurigaan rakyat hanya karena Jokowi salah memilih figur menterinya.

Kata Ade lagi, Jokowi harus mencopot mereka yang bermasalah dan segera memasukkan figur - figur baru untuk kembali diuji atau seleksi oleh KPK, PPATK, Dirjen Pajak maupun publik. Masih ada waktu dua pekan untuk mendapatkan figur yang terbaik.

Ini memang  harapan kita, harapan rakyat Indonesia dan Jokowi di hari pertamanya melaksanakan Revolusi Mental diuji agar tegas menentukannya dan mencoret nama - nama yang berwarna - warni. Kita minta agar Jokowi memakai hak prerogatifnya.

Kalau dulunya ada yang menolak Dwifungsi ABRI, saatnya memang sekarang ini kita harus menolak “dwifungsi pemodal”, “dwifungsi parpol” dan dwifungsi warna-warni lainnya yang terselubung, sistematis dan  masif.

Ada juga memang teman saya di akun facebooknya, Gonjes Siregar,  yang menuliskan agar kabinet itu diumumkan di Istana Negara saja, tidak di Tanjung Priok yang nyatanya, semalam, “Kabinet Tanjung Priok” itu memang urung diumumkan.

Kalau Jokowi memaksudkan pengumuman kabinet di Tanjung Priok terkait dengan pembangunan kemaritiman, saya lebih setuju jika kabinetnya diumumkan di Monas dan namanya kita tambah menjadi Monumen Nasional Salam Tiga Jari sebagai lambang monumen rakyat yang bersalam tiga jari: Persatuan Indonesia.

Lebih keren dan merakyat. Bukankah rakyat sudah mau dan rela dari seluruh nusantara hadir di monas untuk pesta rakyat Jokowi sudah menjadi presidennya?. Ini harus dicatat bahwa Monas membawa sejarah bagi rakyat. Tidak salah jika disebut juga sebagai Monumen Rakyat.

Teman saya Pahala Simbolon, Ketua DPC PDIP Samosir, Sumatera Utara, sengaja datang ke Monas ber-pesta pada 20 Oktober 2014 itu. Samosir memang meraih suara 90 persen lebih untuk kemenangan Jokowi - JK, tertinggi dari 32 kabupaten kota se-Sumatera Utara.

Kita tunggu, pekan ini Jokowi sudah berlari untuk Indonesia Hebat seperti yang kita lihat bagaimana Jokowi dengan kemeja putih bergulungnya  berlari di pentas Salam Tiga Jari di Monas dan mengacungkan tiga jarinya. Merdeka …. Merdeka dan …… Mardeka….. !!!

Senin, 20 Oktober 2014

selamat pagi indonesia

selamat pagi indonesia, selamat pagi jokowi - jk, dan selamat pagi semua relawan jokowi - jk di mana pun anda berada,
saya tahu persis anda telah berkeringat dan bersusah payah selama ini tanpa diminta dan tanpa imbalan dengan biaya sendiri bekerja keras dengan sukarela.
kerja mulia anda dan kita semuanya, termasuk saya, bisa kita saksikan hari ini: 20 oktober 2014: jokowi - jk presiden-wakil presiden. salam tiga jari, salam revolusi mental ....!

Minggu, 19 Oktober 2014

REFORMASI BELUM BERAHIR l Biografi Mini Efendy Naibaho - 1 l

OPINI | 19 October 2014 | 08:49 Dibaca:    Komentar: 0    0

REFORMASI belum berakhir, revolusi belum selesai. Dua tag-line ini menjadi inspirasi saya dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini terlebih sejak memasuki perguruan tinggi di dua tempat: Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP Negeri Medan) dan Universitas Sumatera Utara (USU), keduanya di Medan.  Kini, setelah mempunyai seorang cucu: Brenda Angelina Magdalena, tag-line-nya bertambah satu lagi, Revolusi Mental.

Saya, Efendy Naibaho, mulai terjun ke dunia wartawan/penulis sejak 1974 - sekarang, anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara 1999 - 2004 dan 2004 - 2009 dari Fraksi PDI-Perjuangan, daerah pemilihan Labuhan Batu.

Saya lahir di Medan 2 Maret 1955, persisnya di RSUPP - Rumah Sakit Umum Pemerintah Pusat- Medan, sekarang RS Pirngadi di Jalan Prof HM Yamin Medan.
Tempat tinggal di Perumnas Mandala, di Jl Garuda Raya No 4 (Ruko2 lewat Tol) Kelurahan Kenangan, Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Pindah dari rumah orangtua: Tunggul  Naibaho - Maruli Simarmata di Jl Nanggarjati No 71, Sidorame Timur, Medan Timur, Medan.

Hand phone: 0819 600 0819. Sebelumnya nomor: 0812 600 3456 tapi sudah diblokir Telkomsel walau sudah lama sekali menjadi pelanggan dan nomornya sudah dikenal luas oleh kolega, saudara, teman-teman dan sahabat-sahabat saya. Juga ada nomor cantiknya: 0812 600 3457.  email: efendynaibaho@gmail.com danefendynaibaho@ymail.com

Menjadi mahasiswa Fakultas Hukum USU dan IKIP Negeri Medan, karena berbagai sebab, apa boleh buat, sayatidak tamat. Di Fakultas Hukum USU sampai “kelas” 2 saja. Sejak 1975 hingga tahun 1982.

Ketika di tingkat I, stambuk 1975, dalam ujian pertama lulus 5 mata pelajaran dari 8 mata pelajaran dan ketika ujian lanjutan hingga eksamen, lulus 2 mata kuliah dan lulus 1 setelah dilalui 2 tahun lebih. Yang terakhir adalah lulus dalam mata pelajaran ekonomi. Ketika itu sistem di Fakultas Hukum USU adalah sistem bersih.

Maksudnya, setiap mahasiswa tidak boleh mengikuti mata kuliah di tingkat II. Jadilah mahasiswa tingkat I dan sering disebut dengan “mahasiswa abadi” dan lama-kelamaan di-do / drop-out. Kalau mahasiswanya disebut “abadi”, kami juga punya istilah adanya “dosen killer” .

Antara kuliah dan tidak kuliah itulah, saya sudah mulai ikut-ikutan menulis cerpen dan puisi serta artikel ringan di Harian Waspada Medan, persisnya sejak tahun 1974.

Kebiasaan ini juga saya lakukan ketika masih menjadi mahasiswa seni musik di IKIP Medan. Hampir 3 tahun juga ngirim tulisan apa adanya. Juga pernah ikut sayembara mengarang HUT Polri yang ketika itu meminta karangan yang berjudul “Peran serta Masyarakat dalam Pemantapan Kamtibmas”.

Setelah itu, dalam pergolakan perjalanan seorang anak muda yang menyandang status mahasiswa, lama kelamaan saya menjadi wartawan dan staf redaksi di Harian Sinar Indonesia Baru, yang dimulai dari petugas lay-out, lazim ketika itu disebut sebagai opmaker. Kemudian korektor dilanjutkan terus sebagai reporter, persisnya sejak 1978 sampai 1992.

Pernah juga sih sebagai asisten kepala biro untuk memimpin liputan seluruh wartawan yang ada di Medan. Pernah juga sebagai koorlip dan menjabat Kabiro Siantar.

Kemudian pindah dan menjadi wartawan, staf redaksi dan Kepala Biro Harian Sentana, Jakarta, (1994 - 1995).

Sebelum ke Jakarta, ikut bersama Suhu, begitu dia dipanggil karena Guru Besar Tako, namanya Syarun Isa ini, saya menjadi anak buahnya, menjadi reporter BSF (Bintang Sport Film) Medan, koran milik Suhu, sampai menjadi Kepala Biro BSF di Jakarta, sejak 1992 sampai 1995.

Di BSF itulah dulunya ketika kasus HKBP marak, kami ramai-ramai pro-SAE Nababan. Sama ketika di Sentana.

Kemudian menjadi reporter Persada Medan, mingguan di kawasan Medan Timur, sejak 1993 - 1998. Beralih lagi menjadi Reporter The Jakarta Post, Jakarta, di Medan, 1997 - 1999.

Di masa ini banyak sekali berita saya yang terbit di harian berbahasa Inggeris itu –walau saya pasif berbahasa Inggeris. Ketika itu memang masa reformasi, banyak sekali peristiwa di Medan, kemudian berita besar Dukun AS dan jatuhnya pesawat Garuda di Buah Nabar.

Di masa reformasi, boleh dikatakan, dari 10 kejadian di masa-masa itu, saya berada di tempat setidaknya di 8 lokasi. Mulai dari awal reformasi yang menurut saya dimulai dari Sumber Nongkoh, Kampus USU depan Fakultas Hukum. Malah sempat saya merencanakan menerbitkan buku tentang reformasi itu dengan judul “Reformasi dari Sumber Nongkoh”.

“Sumber Nongkoh” atau enak juga disebut “sumber”, jalan masuk ke USU persis ke arah Fakultas Hukum USU, melewati Fakultas Sastra ketika itu, jalan pintas dari arah Padang Bulan.

Di Sumber Nongkoh inilah para mahasiswa meneken penolakan kepada Soeharto dan ketika itu saya masih ingat betul, kertas manila untuk meneken stetmen mahasiswa itu sempat meminjam pulpen PR III Isman Nuryadi. Hebat memang Pak Isman ini, dia tak segan-segan turun ke tengah kerumunan mahasiswa, berbaur terus.

Ketika reformasi sudah berjalan, salah satu hasilnya adalah SIUPP - Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers - tidak dimonopoli lagi. Kami pun membuat koran baru dengan SIUPP baru.

Jadilah ketika itu saya menjadi Pemimpin Redaksi Tabloid Fokus Medan (1998 - 1999), Pemimpin Umum Tabloid Berita Mingguan Netral (1999), Pemimpin Umum Majalah Format (1999) dan tahun 2003, Pemimpin Umum Tabloid Tanah, Tabloid Ekspres, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi www.formatnews.com dan Direktur Utama Radio Soara Pusuk Buhit di Pangururan, Samosir. Selama tiga bulan, sejak sampai November 2010, menjadi wakil pemimpin redaksi harian Batak Pos di Jakarta.

Ketika menjadi wartawan itu, saya juga aktif membantu teman-teman di Majalah Berita Mingguan TEMPO Biro Sumut - Aceh di Medan, sebagai pembantu lepas (1983 - 1985) dan pernah menjadi Project Officer Penelitian dan Potensi Pasar Majalah Tempo, Mei - Juni 1983.

Kepala Biro-nya ketika itu adalah Alm. Zakaria M Pase, juga ada Alm. Monaris Simangunsong. Saya mengetik berita ketika itu sampai buka baju karena kantornya di Jl Perdana Medan, masih numpang-numpang di toko buku kecil di kawasan itu dan ruang kerja Bang Jek, panggilan akrabnya,  di lantai 2 dan kami para reporter dadakan itu di lantai 3.

Aktif di organisasi GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), ketika itu dimulai di Komisariat GMKI Fakultas Hukum USU., menjadi anggota sejak 1975 hingga menjadi senior members dan pernah menjabat di forum alumni seniornya.

Kemudian di GAMKI (Gerakan Angkatan Muda Kristen Indoensia), mulai dari anak cabang Medan Timur, Kota Medan, Sumatera Utara hingga di DPP (Dewan Pimpinan Pusat) GAMKI sebagai salah seorang ketuanya.

Di GAMKI Sumatera Utara, mulai dari wakil sekretaris, menjadi sekretaris kemudian menjadi ketuanya dalam konperda yang sah tanpa intervensi rezim ketika itu. Persisnya sejak 1977 hingga 2003.

Saya menggantikan ketua DPD GAMKI Sumut, Pdt MD Wakkary. Sebelumnya, sebagai sekretaris, menggantikan Alm. Tarubar Simanjuntak, yang rumahnya di Jl Sudirman 42 Medan.

Kemudian di KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) Sumatera Utara, sejak 1979 hingga 1992 dimulai dari menjadi anggota, pengurus dan di Dewan Penasehat. Hampir beberapa periode, tetap di humasnya, dimulai dari ketuanya Bang Zainal Arifin, dokter gigi.

Tahun 2008, terpilih sebagai Ketua DPD Parkindo (Partisipasi Kristen Indonesia) Sumatera Utara. Ormas yang sebelumnya adalah partai politik yang berfusi  ke PDI.
Juga Ketua Forum Peduli Sumatera Utara dan Ketua Forum Peduli Danau Toba dan Ketua Yayasan PusukBuhit sampai sekarang.

Di partai, di PDI Perjuangan Sumut, pernah menjadi Ketua Seksi Publikasi dan Pers Pappuda PDIP Sumut, 1999, menjadi wakil sekretaris DPD PDIP Sumut 2000 - 2005 dan salah seorang wakil ketua DPD PDIP Sumut periode 2005 - 2010.
Menjadi wakil ketua yang membidangi informasi dan komnunikasi, sebelum diganti dengan pelaksana harian DPD PDIP Sumut. Ketika itu ketuanya adalah Rudolf Pardede.

Menjadi anggota PDI Perjuangan sejak 1976, dimulai dari DPC PDI Cabang Medan dan mempunyai kartu tanda anggota di DPC PDIP Jakarta Timur.

Kartu anggota PDI ini bisa saya peroleh karena ketika itu sekjennya adalah senior kami, Alex F Litaay, yang ketika itu menjadi Pjs Ketua Umum DPP GAMKI.
Di Matraman, markas Parkindo, di Jakarta Pusat, Bung Alex memerintahkan Pantas Nainggolan agar mengurus KTA kami karena ketika itu dengan kocaknya Bung Lexi, sapaannya, menanyai kami, sudah menjadi anggota, yang kami jawab ramai-ramai: belum.

Isteri Romida br Hutagaol, dikarunai empat anak, 2 perempuan 2 laki-laki. Yang pertama perempuan, Natalina br Naibaho, yang kedua juga perempuan, Dede Agustina Naibaho. Ketiga lelaki, Samuel Naibaho dan keempat, Jordan Naibaho.
Kedua orang tua saya, Tunggul Naibaho dan Maruli Simarmata, sudah mendahului kami, ayah pada 27 Mei 1981 dan ibu tercinta almarhum 24 Juli 1998. Keduanya dimakamkan di Pekuburan Keluarga di Siogung - ogung, Pangururan, Samosir, di kaki gunung Pusuk Buhit.

Orangtua saya dulunya bekerja di PT Pelni Cabang Medan - Belawan, pernah sebagai Kepala Operasi Perjalanan Kapal. Masih saya ingat bagaimana hiruk pikuknya Belawan dan di rumah kami sendiri melihat orang-orang yang akan berangkat ke Jakarta. Ada KM Tampomas, Belle Abeto maupun KM Bengawan.

Saudara saya empat: Cornel Naibaho di Jakarta, PNS di Departemen Perindustrian, Nurida Naibaho di Jakarta, sebagai seorang guru dan Tiara Naibaho di Medan, PNS Disperindag Sumut dan adik tersayang saya, Robert Naibaho, meninggalkan kami di Jakarta, tahun 2007 .

Dia sakit-sakitkan di rumahnya di Lampung dan berobat ke Jakarta hingga menghembuskan nafas terakhirnya di RS Harapan Kita, di ruang ICU. Selamat jalan Bet….

Pada Pemilu 2009, saya mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif / caleg / ke DPR RI dari PDI-Perjuangan nomor urut 8 dari daerah pemilihan Sumut1: Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagei, Tebing Tinggi.

Kampanye saya ketika itu, bila terpilih ke Senayan, agenda reformasi yang sampai sekarang masih tersendat-sendat, akan saya kawal terus. Reformasi Birokrasi, Reformasi Ekonomi dan Reformasi Agraria harus diutamakan.
Tapi sayang, yang mencontreng atau menandai nama saya di nomor urut 8, sedikit sekali dan gagal-lah ke Senayan. Sayang memang, saya tidak mendapat suara yang signifikan, kalah melangkah menuju Senayan.

Akhirnya, ya back to basic lagi menjadi wartawan di
1. situs berita apa saja, www.formatnews.com yang sekarang, sejak 2014  menjadi e-kantorBerita
2. situs orang batak, www.pusukbuhit.com yang meningkatkan diri menjadi media online budaya dan heritage  Indonesia
3. radio soara pusuk buhit di pangururan, 93,3 fm
4. yayasan pusuk buhit
5. warkop pusuk buhit
6. forum peduli danau toba

(Ini tulisan yang ditambahkurang pada hari Minggu 20 Oktober 2014 dari tulisan tertanggal,  medan, 10 februari 2010 dan sebagai tulisan awal yang akan bersambung terus…..)

salam saya,

efendy naibaho
——————--

Sabtu, 04 Oktober 2014

Parlemen Online

Oleh Efendy Naibaho
OPINI | 04 October 2014 | 08:49
Wikipedia menyebutkan parlemen adalah sebuah badan legislatif, khususnya di negara-negara sistem pemerintahannya berdasarkan sistem Westminster dari Britania Raya. Nama ini berasal dari bahasaPerancis yaitu parlement.
Badan legislatif yang disebut parlemen dilaksanakan oleh sebuah pemerintah dengan sistem parlementer dimana eksekutif secara konstitusional bertanggungjawab kepada parlemen. Hal ini dapat dibandingkan dengan sistem presidensial dimana legislatif tidak dapat memilih atau memecat kepala pemerintahan dan sebaliknya eksekutif tidak dapat membubarkan parlemen.
Beberapa negara mengembangkan sistem semipresidensial yang menggabungkan seorang Presiden yang kuat dan seorang eksekutif yang bertanggungjawab kepada parlemen.
Parlemen dapat terdiri atas beberapa kamar atau majelis, dan biasanya berbentuk unikameral atau bikameral meskipun terdapat beberapa model yang lebih rumit.
Bagaimana parlemen di Indonesia? Sejak awal kita menganut sistem pemisahan kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan judikatif. Trias Politica ini walau dalam prakteknya pernah diborong habis di masa Orde Baru, tapi dilaksanakan juga untuk tatanan pemerintahannya. Namanya pemisahan kekuasaan tapi orang - orangnya itu ke itu juga, semua dikuasai satu partai.
Setelah Jokowi - JK presiden dan akan memegang tampuk pemerintahan nantinya, dan dikalahkan dengan strategi Koalisi Merah Putih di legislatif, mengacu kepada Trias Poltica idealnya harus direlakan agar ada pemisahan kekuasan. Supaya tidak koor setuju lagi dan wakil rakyatnya agar berkeringat sedikit .
Tapi bagaimana dengan raihan suara terbanyak –walau tidak 51 persen — pada pemilu kemaren? Presiden Jokowi juga dipilih rakyat secara langsung, tidak melalui MPR - DPR?
Parlemen atau bahasa yang diistilahkan teman saya, Drs H Hasrul Azwar, orang kuat di PPP, parlemen adalah parlee, yang artinya berbicara. Karena kerjanya bicara, sebenarnya rakyat tidak usah terkesima kalau wakil rakyat kita itu kerjanya interupsi, tanya sana sini dan hanya nato (dalam arti talk only). Kerjanya memang ngomong, bcrbicara atau membicarakan masalah rakyat, bangsa dan negara.
Kalau dulunya ada ejekan 5 atau 6 d (datang, daftar, duduk, dengar-dengar, diam dan duit), bisa saja tercetus dari mulut rakyat karena sistem pemilunya memakai nomor urut. Malah ada istilah urut kacang atau mendapatkan berapa suara pun sang calonnya, sekecil apapun raihan suaranya, tetap akan dilantik menjadi anggota DPR RI karena di nomor urut satu. Kecuali jika calonnya hanya untuk pengumpul suara.
Kini semuanya sudah berubah, caleg-calegnya tidak menjadi penggembira lagi. Nomor urut berapapun, jika raihan suaranya banyak dan terbesar, akan dilantik di Senayan. Sayangnya, ketika menjadi pimpinan (sementara), yang dihunjuk bukan yang memperoleh suara terbanyak, tapi yang tertua dan termuda. Mengapa tidak yang memperoleh suara terbanyak? Kan dia dipilih rakyat banyak?
Yang pasti, kegaduhan dan riuh rendahnya wakil - wakil rakyat di Senayan sana adalah hasil pilsung yang kini diminta sistemnya tetap pilsung juga untuk pemilu kepala daerah. Biarlah para wakil rakyat yang sudah dilantik itu menikmati fasilitas negara atas nama rakyat dan rakyat sudah menetapkan pilihannya karena mereka yang memilihnya kemaren.
Yang masih mau memberikan waktu, fikiran, tenaga dan dananya (dari kantong sendiri), bergabung-lah di parlemenOnline, tidak menjadi parlemen jalanan lagi. Yang masih mau membentuk lembaga swadaya masyarakat, saya usulkan nama lembaganya adalah Satgas Mafia Anggaran dan Makelar Proyek. Ini harus diawasi bersama komponen rakyat, pers, hakim-jaksa-polisi dan KPK .
Soal biaya, kita bisa bergotong royong. Kalau tiap bulan kita donasikan Rp 100.000,- saja per orang –bayangkan jika elemen atau komunitas parlemenOnline ini berjumlah 1 juta orang, sudah berapa anggaran yang terkumpul?.
Dahlan Iskan cocok menjadi ketua parlemenOnline ini kalau tidak terpilih nantinya sebagai Menteri Jokowi - JK.
Kita ajak Dahlan membentuk korporasi, tapi harus menguntungkan . Bagaimana ide sociopreneur, pengusaha yang menjalankan bisnis dengan membangun dan mengembangkan komunitas agar lebih berdaya guna tapi dikelola secara menguntungkan. Ayo deh, ini ajakan sesungguhnya di era Revolusi Mental sekarang. ***

Walk-Out, Apa Untungnya Bagi Rakyat?

02 Oct 2014 | 10:31
Oleh Efendy Naibaho

Walk-out atau keluar meninggalkan ruang sidang, kini semakin populer. Di masa Revolusi Mental yang sedang digaungkan ini, dua kali opsi walk-out sudah dilakukan. Yang pertama walk-out Demokrat ketika paripurna Pilsung DPRD. yang kedua adalah walk - out PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura di paripurna pertama wakil rakyat baru dilantik ketika sidang pemilihan pimpinan DPR.

Banyak pendapat pro-kontra tentang walk - out ini. Mulai dari pencitraan, ingin memberitahu kepada rakyat bahwa mereka tidak ikut bertanggungjawab atau ingin memperlihatkan bahwa mereka yang walk - out, sebagai wakil rakyat, tidak ingin terlibat dalam proses yang dilakukan. Yang menjadi soal, apakah tidak ikut lagi dalam proses kelanjutannya? Apakah akan tetap walk - out di sidang - sidang berikutnya? Bukankah sudah menyatakan tidak setuju terhadap isi paripurnanya?

Selain itu, yang menjadi tanda tanya besar dan mendasar adalah: walk - out ini apa untungnya bagi rakyat? Saya juga berat menjawabnya dan tidak bisa asal jawab karena orang - orang yang sudah keluar meninggalkan ruang sidang juga punya jawaban - jawaban tertentu dan spesifik. Namun demikian, banyak juga sebenarnya yang tidak terlalu suka dengan sistem walk - out ini.

Terngiang ucapan Sang Nenek yang memimpin sidangnya dengan lantang menyatakan : silakan ..........! Maksudnya, silakan meninggalkan ruang sidang jika ingin keluar. Artinya, siapa yang melarang kalau mau keluar?

Walk - out atau meninggalkan ruang sidang bisa juga diartikan tidak ingin bertanggungjawab terhadap hasil - hasilnya. Lantas, siapa yang bertanggungjawab, apakah mereka yang "walk - in" di ruangan ber-ac tinggi dan sejuk itu saja yang bertanggungjawab? Bisa juga walk - out diartikan sebagai cuci tangan tetapi kembali ke pertanyaan besarnya: apa untungnya bagi rakyat .....?

Kita lihat saja nanti lima tahun ke depan atau setidaknya setahun berjalan ini setelah Jokowi - JK memimpin Indonesia. Apa yang bakal terjadi dan kegaduhan politik apa lagi yang akan diciptakan? Karena walau walk -out, pimpinan DPR-nya tetap akan berjalan dan tetap akan bertugas.

Kecuali bila parlemen jalanan muncul, komunitas-komunitas rakyat tertentu berdemo, situasinya akan menjadi lebih lain lagi. Terlebih jika para wakil rakyat yang walk - out tadi ikut mendorong dari dalam. Lebih ramai lagi, jika fraksi yang "walk - in" mau mengerahkan elemen - elemennya berdemo tandingan. Apa yang akan terjadi? Setidaknya, jalanan akan macet lagi. Yang kena, ya, rakyat.

Padahal, rakyat hanya bisa berharap tiga: rakyat tidak lapar, rakyat tidak bodoh, rakyat tidak sakit. Hidup Rakyat dan Wakil Rakyat, duduk bersama sajalah untuk melaksanakan harapan rakyat ini.

Program Jokowi - JK sudah dinantikan rakyat banyak, programnya hebat - hebat dan agar terlaksana dua program ini saja dulu: Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat, sudah hebat. Semuanya ini untuk Indonesia Hebat. Kita mulai dari diri kita masing - masing dulu untuk me-Revolusi Mental kita sendiri.

"Walk-out" sudah dilakukan tapi kita mengharapkan yang sesungguhnya: "All - out" untuk Indonesia. *

Ada Revolusi Payung, Revolusi Mental, Revolusi Apa Lagi?

03 Oct 2014 | 08:31
Oleh Efendy Naibaho

SHAKESPEARE memang sudah tegas, sudah menegaskan: apalah arti sebuah nama. Tapi kalau ngga punya nama, bagaimana menafsirkan ucapan filsuf ternama kita ini ya? Yang pasti, sudah ada "Revolusi Payung" di Hong Kong. Ini memang sebuah simbol, rakyatnya demo pakai payung. Payung fungsinya juga bisa menjadi tempat menulis yel - yel yang mau didemo sekaligus untuk melindungi dari panasnya terik matahari atau hujan.

Pernah juga ada simbol baju merah, kotak - kotak dan salam - salam seperti Jokowi - JK: "Salam Dua Jari". Yang selalu terlihat kalau demo kita,  dipenuhi baliho panjang maupun pendek dan ikat kepala atau badge di tangan. Di masa reformasi kemaren, mahasiswa dengan jaket almamaternya.

Soal revolusi, Guruh Soekarno Putra, di banyak tempat sebenarnya acap sekali menyebutnya. Tapi bukan revolusi fisik atau revolusi sosial. Guruh, putera Bung Karno ini memaksudkan juga untuk melakukan Revolusi Kebudayaan atau sejenisnya yang mengarah ke Revolusi Mental yang dipasarkan Jokowi.  Jokowi memang berhasil membuat tag-line Revolusi Mental dan sempat dituding sebagai revolusi yang macam - macam.  Tapi ngga apa-apa, Pak Jokowi kita minta untuk terus melaksanakan gerakan - gerakan revolusi mental ini di banyak lini.

Saya sebenarnya mendukung Jokowi karena revolusi mental-nya itu. Karena kalau kita benar - benar merevolusi mental kita,  semuanya akan lancar dan berubah total. Mental kita yang perlu diuji, misalnya, masuk dan keluar kantor benar - benar dilakukan sesuai jam kantor. Jangan menjadi komunitas yang masuk jam 8 kerja kosong pulang jam 2 siang.

Revolusi kecil lainnya, bagaimana kita mau antre di lampu merah, tidak melanggar rambu dan memakai lampu  sein jika belok kiri kanan. Banyak hal kecil lainnya, termasuk untuk tidak teriak - teriak jika menerima telefon di hp-nya.

Yang saya banggakan juga, Jokowi tetap dengan Innovanya, yang intinya: sederhana dan tidak korup. Hidup Revolusi Mental. Hidup Rakyat. ***

Kamis, 02 Oktober 2014

Walk - Out, Apa Untungnya Bagi Rakyat?

OPINI | 02 October 2014 | 10:31 Dibaca:    Komentar: 0    0
Oleh Efendy Naibaho

Walk-out atau keluar meninggalkan ruang sidang, kini semakin populer. Di masa Revolusi Mental yang sedang digaungkan ini, dua kali opsi walk-out sudah dilakukan. Yang pertama walk-out Demokrat ketika paripurna Pilsung DPRD. yang kedua adalah walk - out PDIP, Nasdem, PKB dan Hanura di paripurna pertama wakil rakyat baru dilantik ketika sidang pemilihan pimpinan DPR.

Banyak pendapat pro-kontra tentang walk - out ini. Mulai dari pencitraan, ingin memberitahu kepada rakyat bahwa mereka tidak ikut bertanggungjawab atau ingin memperlihatkan bahwa mereka yang walk - out, sebagai wakil rakyat, tidak ingin terlibat dalam proses yang dilakukan.

Yang menjadi soal, apakah tidak ikut lagi dalam proses kelanjutannya? Apakah akan tetap walk - out di sidang - sidang berikutnya? Bukankah sudah menyatakan tidak setuju terhadap isi paripurnanya?

Selain itu, yang menjadi tanda tanya besar dan mendasar adalah: walk - out ini apa untungnya bagi rakyat? Saya juga berat menjawabnya dan tidak bisa asal jawab karena orang - orang yang sudah keluar meninggalkan ruang sidang juga punya jawaban - jawaban tertentu dan spesifik. Namun demikian, banyak juga sebenarnya yang tidak terlalu suka dengan sistem walk - out ini.

Terngiang ucapan Sang Nenek yang memimpin sidangnya dengan lantang menyatakan : silakan ……….! Maksudnya, silakan meninggalkan ruang sidang jika ingin keluar. Artinya, siapa yang melarang kalau mau keluar?

Walk - out atau meninggalkan ruang sidang bisa juga diartikan tidak ingin bertanggungjawab terhadap hasil - hasilnya. Lantas, siapa yang bertanggungjawab, apakah mereka yang “walk - in” di ruangan ber-ac tinggi dan sejuk itu saja yang bertanggungjawab? Bisa juga walk - out diartikan sebagai cuci tangan tetapi kembali ke pertanyaan besarnya: apa untungnya bagi rakyat …..?

Kita lihat saja nanti lima tahun ke depan atau setidaknya setahun berjalan ini setelah Jokowi - JK memimpin Indonesia. Apa yang bakal terjadi dan kegaduhan politik apa lagi yang akan diciptakan? Karena walau walk -out, pimpinan DPR-nya tetap akan berjalan dan tetap akan bertugas.

Kecuali bila parlemen jalanan muncul, komunitas-komunitas rakyat tertentu berdemo, situasinya akan menjadi lebih lain lagi. Terlebih jika para wakil rakyat yang walk - out tadi ikut mendorong dari dalam. Lebih ramai lagi, jika fraksi yang “walk - in” mau mengerahkan elemen - elemennya berdemo tandingan. Apa yang akan terjadi? Setidaknya, jalanan akan macet lagi. Yang kena, ya, rakyat.

Padahal, rakyat hanya bisa berharap tiga: rakyat tidak lapar, rakyat tidak bodoh, rakyat tidak sakit. Hidup Rakyat dan Wakil Rakyat, duduk bersama sajalah untuk melaksanakan harapan rakyat ini.

Program Jokowi - JK sudah dinantikan rakyat banyak, programnya hebat - hebat dan agar terlaksana dua program ini saja dulu: Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat, sudah hebat. Semuanya ini untuk Indonesia Hebat. Kita mulai dari diri kita masing - masing dulu untuk me-Revolusi Mental kita sendiri.

“Walk-out” sudah dilakukan tapi kita mengharapkan yang sesungguhnya: “All - out” untuk Indonesia. *

Tags:

 
Kompasiana adalah Media Warga. Setiap berita/opini di Kompasiana menjadi tanggung jawab Penulis.
Siapa yang menilai tulisan ini?
  •  0
Artikel ini belum ada yang menilai.
KOMENTAR BERDASARKAN : 
Tulis Tanggapan Anda
Efendy Naibaho

 

HEADLINE ARTICLES

Selayang Pandang Tentang Demonstrasi …

Fera Nuraini | | 01 October 2014 | 20:57

“Menjadi Indonesia” dengan Batik …

Hendra Wardhana | | 02 October 2014 | 05:49

Mari Melek Sejarah Perlawakan Kita Sendiri …

Odios Arminto | | 02 October 2014 | 04:32

Seandainya Semalam Ada Taufik Kiemas …

Hendi Setiawan | | 02 October 2014 | 07:27

[DAFTAR ONLINE] Kompasiana Nangkring bersama …

Kompasiana | | 01 October 2014 | 10:36


TRENDING ARTICLES

Liverpool Dipecundangi Basel …

Mike Reyssent | 3 jam lalu

Merananya Fasilitas Bersama …

Agung Han | 3 jam lalu

Ceu Popong Jadi Trending Topic Dunia …

Samandayu | 5 jam lalu

MK Harus Bertanggung Jawab Atas Kericuhan …

Galaxi2014 | 7 jam lalu

Sepedaku Dicolong Maling Bule …

Ardi Dan Bunda Susy | 7 jam lalu


HIGHLIGHT

Batik Bagian I: Bukan Seni Instan …

Akhmad Mukhlis | 7 jam lalu

Mari Sayangi Batik Indonesia …

Dewi Nurbaiti | 7 jam lalu

Judi Dadu dalam Mahabharata Mirip Pilkada …

Gatot Swandito | 7 jam lalu

Romantisme Malaka di Malam Hari …

Imam Uddin Hanief | 7 jam lalu

Nasib PNPM Mandiri di Pemerintahan Jokowi …

Ali Yasin | 7 jam lalu

Subscribe and Follow Kompasiana:

 

Sabtu, 10 Mei 2014

Masif, determinasi uang dan kongkalikong manipulasi suara Pileg 2014 - Pemilu 2014 ANTARA News

Masif, determinasi uang dan kongkalikong manipulasi suara Pileg 2014 - Pemilu 2014 ANTARA News

Masif, determinasi uang dan kongkalikong manipulasi suara Pileg 2014

Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Matriks Indonesia Agus Sudibyo mengatakan determinasi uang dan praktik kongkalikong manipulasi suara pada penyelenggaraan pemilu legislatif (Pileg) 2014 masif karena banyaknya indikasi politik uang yang beredar.

"Kalau dari sisi determinasi uang itu pemilu legislatif tahun ini yang paling brutal dibandingkan pemilu yang sudah dilakukan karena determinasi uang itu menjadi luar biasa," ujar Agus Sudibyo dalam diskusi "Menyikapi Penyelenggaraan (Rekapitulasi dan Penetapan) Pemilu 9 April 2014 di DPD RI, Jakarta, Jumat.

Menurut dia, ongkos Pileg 2014 menjadi mahal karena adanya politik uang yang merajalela sehingga dalam Pemilu kali ini ada hubungan antara penjual dan pembeli.

"Kita menghadapi situasi seperti ini dan kita khawatirkan akan ada transaksi perundang-undangan yang dihasilkan dari Pemilu yang terdapat politik uang," kata dia.

Ia mengutarakan untuk menjadi anggota DPR RI itu para caleg harus mengeluarkan dana minimal senilai Rp3,5 miliar.

"Dana tersebut digunakan untuk biaya operasional kampanye seperti baliho, spanduk, tim sukses, survei maupun iklan di media massa," ujar dia.

Karena itu, lanjutnya, para wakil rakyat yang akan duduk di parlemen tidak terikat dan tidak memperjuangkan aspirasi masyarakat sehingga akan ada jual beli perundang-undangan atau transaksional pasal.

"Jual beli pasal perundang-undangan akan semakin parah, proses perumusan kebijakan dan pelaksanaannya dilandasi oleh logika jual beli," ujar dia.

Bahkan, ia mengatakan, DPR dalam lima tahun ke depan terkait proses kebijakan dan pengelolaan sumber daya publik jangan-jangan akan dilakukan proses jual beli itu tadi. (A063/A029)

Editor: B Kunto Wibisono
COPYRIGHT © 2014

Minggu, 02 Februari 2014

Seruan Pengurus Pusat GMKI menyangkut meninggalnya 7 relawan GMKI di Sinabung

Seruan Pengurus Pusat GMKI menyangkut meninggalnya 7 relawan GMKI di Sinabung
fnews - Jakarta: Duka cita yang mendalam dialami oleh GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) secara nasional atas meninggalnya kader-kader GMKI yang dalam rangka misi kemanusiaan terhadap korban bencana Gunung Sinabung.

Diantaranya 6 orang kader GMKI Cabang Kutacane dan 1 orang kader GMKI Kabanjahe. GMKI Kutacane adalah cabang yang baru berdiri hitungan bulan tapi semangat pelayan mereka patut diapresiasi karena sebagai cabang yg baru terbentuk di Wilayah 1, bisa memberikan loyalitasnya untuk pengorbanan pelayanan.

Atas dasar itu Pengurus Pusat GMKI memberitahukan kepada seluruh Cabang GMKI se - Tanah Air, untuk melakukan aksi solidaritas bersama dalam bentuk :

1. Menetapkan 7 hari sebagai hari berkabung Nasional GMKI di seluruh Cabang GMKI Se-Tanah Air

2. Melakukan malam doa.

3. Mengibarkan bendera Organisasi GMKI setengah tiang di setiap kantor perwakilan GMKI Se-Tanah Air

4. Menggalang bantuan dana untuk diserahkan kepada keluarga yang berduka.
( bantuan dapat disalurkan ke nomor rekening 122-00-0509990-1 Bank Mandiri KCP Jakarta RSCM an Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia ) contak person: 085297200823 ( Bendahara Umum/ lisbeth)

Demikian hal ini disampaikan kiranya bisa menjadi perhatian kita bersama. Kiranya. Teriring Salam dan Doa Agung Tuhan Yesus Sang Kepala Gerakan. Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, Tinggi Pengabdian.

Ut Omnes Unum Sint

PENGURUS PUSAT
GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA
MASA BAKTI 2012-2014
rus Pusat GMKI menyangkut meninggalnya 7 Relawan GMKI di Sinabung